agama dan masyarakat
Agama dan Masyarakat
Eros Rosnida
Kaitan agama dengan masyarakat
banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan
figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati
dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi
dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada
pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan
ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu
dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan
masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan
sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat
penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada
hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah
“anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur
yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya
solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive
dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau
tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama
yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang
selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu
kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks
fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia,
sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem,
apakah lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana
agama dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan
mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut
berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku,
bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan
dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang
bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat
agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan
agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang
menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi
tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala sesuatu yang
tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga memandang
kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari
karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup
dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis
memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari
ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai
mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi
agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah
memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam
masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi
bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan
memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal
ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan
memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi
agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada
kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi
sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran
dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi
agama di sosial adalah fungsi penentu, di
mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota
beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan
mereka.
Fungsi
agama sebagai sosialisasi individu adalah,
saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai
sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama
juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua
tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan
agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai
tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah
secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama
dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson
(1984), dimensikomitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a. Dimensi keyakinan mengandug
perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan
teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan
suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan
dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki
informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab
suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari
komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan
citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki
konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin
terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut
Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan
langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama,
praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan
sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan
bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat
sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya
kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
2.
Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam
kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami
masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa
dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari
agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh
kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar
analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa
data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham
(1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun
tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan
terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu,
keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama.
Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam
sistem masyarakat secara mutlak.
Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan
menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama
pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari
keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat
Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan
teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap
masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih
dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu.
Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas
sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan
ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya
ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku,
tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang
melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental),
seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena
justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan
petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di
dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk
kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya.
Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama
menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena
yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja,
yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan
pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk
memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman
kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan
menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure
kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah
mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama,
apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang
penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga
keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan,
pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau
organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi
keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai
peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan
juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina,
serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian
ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian
keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, dan jika
engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami
termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk
ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu
tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir
dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf
(singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah
sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah
memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang
masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas
perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail
menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka
ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari
dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada
Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar
merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan
meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga
ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla
SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan
tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda
Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim
dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang
peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu
Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan
seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan
pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka
bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S
3:97).
Jadi,
kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan
pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan
Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah,
sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran
telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari
kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil
munkar)
Dari
contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola
ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau
organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual,
tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya
organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman
beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi,
fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan
fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak
organisasi keagama
Komentar
Posting Komentar