ANTARA PARTISIPASI SOSIAL DAN MOBILISASI SOSIAL Oleh : Eros Rosnida


    ANTARA PARTISIPASI SOSIAL DAN
 MOBILISASI SOSIAL
Oleh : Eros Rosnida

A.    PENGERTIAN PARTISIPASI
Istilah partisipasi sering digunakan di dalam kajian tentang peranan anggota masyarakat baik formal maupun non formal. Partisipasi mempunyai arti peran serta,atau keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan bersama-sama dengan erang-orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.[1] Contohnya partisipasi masyarakat dalam program penghijauan atau program pengembangan hutan rakyat pada khususnya dan pembangunan pedesaan pada umumnya sangat diperlukan untuk keberhasilan program yang diinginkan.
            Dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri..
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat tergantung pada sistem politik yang dianut Negara itu, karena itu perubahan paradigma tata pemerintahan suatu.Negara memiliki konsekuensi terhadap perubahan pemaknaan dan mekanisme pelaksanaan partisipasi publik dalam penyelengaaraan pemerintahan dan pembangunan
Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka. Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting.
Pertama partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakata, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep man-cetered development yaitu pembangunan yang diarahkan demi perbaikan nasib manusia.
Partisipasi tidak berarti hanya berasal dari rakyat dan masyarakat, atau hanya dari pemerintah saja, tetapi partisipasi harus datang dari semua pihak baik rakyat atau masyarakat maupun pemerintah, pihak swasta, dan lain-lain. Jadi jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan partisipasi adalah kemampuan sistem pengelolaan sumber daya hutan nasional untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak yang terlibat dalam pengeloaan untuk mengambil bagian secara aktif, mulai dari kegiatan identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi (Simon, dkk., 1999)
Pembangunan kepada pelaku, namun bagaimana masyarakat dapat mengikuti sejak perencanaan, kontrol terhadap proses bahkan evaluasi terhadap hasil pembangunan dalam suasana demokratis, terbuka dan linier antara masyarakat dengan pemerintah. Sebab, apa pun konsekuensi dari pembangunan tersebut akan kembali pada masyarakat sekitarnya. Kesadaran masyarakat dapat muncul ketika pembangunan diposisikan sebagai entitas yang terbuka, korektif, dan sesuatu yang bersifat komunikatif.
Partisipasi masyarakat, dapat  dirumuskannya  menjadi 7 tingkat (Hobley,1996)
 Antara lain:
1.      Partisipasi Manipulasi (Manipulative Participation)Karakteristik dari model partisipasi ini adalah keanggotaan bersifat keterwakilan pada suatu komisi kerja, organisasi kerja, dan atau kelompok-kelompok. Jadi tidak berbasis pada partisipasi individu.
2.      PartisipasiPasif (Passive Partisipation)Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa yang telah terjadi, informasi dari administrator tanpa mau mendengar respon dari rakyat tentang keputusan atau informasi tersebut. Informasi yang disampaikan hanya untuk orang-orang luar yang profesional.
3.      Partisipasi Melalui Konsultasi (Partisipation by Consultation) Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari luar mendefinisikan masalah-masalah dan proses pengumpulan informasi, dan mengawasi analisa. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam pengambilan keputusan, dan pandangan-pandangan rakyat tidak dipertimbangkan oleh orang luar.
4.      Partisipasi Untuk Insentif (Partisipation for Material Incentives) Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin petani menyediakan lahan dan tenaga, tetapi mereka dilibatkan dalam proses percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model partisipasi ini adalah apabila insentif habis maka teknologi yang digunakan dalam program juga tidak akan berlanjut.
5.      Partisipasi Fungsional (Functional Participation) Partisipasi dilihat dari lembaga eksternal sebagai suatu tujuan akhir untuk mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin berpartisipasi melalui pembentukan kelompok untuk menentukan tujuan yang terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti itu mungkin cukup menarik, dan mereka juga dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, tetapi cenderung keputusan tersebut diambil setelah keputusan utama ditetapkan oleh orang luar desa atau dari luar komunitas rakyat desa yang bersangkutan.
6.      Partisipasi interaktif (Interactive Participation) Partisipasi rakyat dalam analisis bersama mengenai pengembangan perencanaan aksi dan pembentukan atau penekanan lembaga lokal. Partisipasi dilihat sebagai suatu hak, tidak hanya berarti satu cara untuk mencapai target proyek saja, tetapi melibatkan multi-disiplin metodologi dan ada proses belajar terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh kelompok dan kelompok menentukan bagaimana ketersediaan sumber daya yang digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga potensi yang ada di lingkungannya.
7.      Partisipasi inisiatif (Self-Mobilisation) Partisipasi rakyat melalui pengambilan inisiatif secara indenpenden dari lembaga luar untuk melakukan perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan dengan lembaga eksternal untuk advis mengenai sumber daya dan teknik yang mereka perlukan, tetapi juga mengawasi bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Hal ini dapat dikembangkan jika pemerintah dan LSM menyiapkan satu kerangka pemikiran untuk mendukung suatu kegiatan.
B.      PENGERTIAN MOBILISASI SOSIAL
Tindakan pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah dibina dan dipersiapkan sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan negara untuk digunakan secara tepat, terpadu, dan terarah bagi penanggulangan setiap ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.[2]
Sosial dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai berikut “ segala  sesuatu yang mengenai masyarakat ; peduli terhadap kepentingan umum.”[3] Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.
Kata society ini berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman , sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
   Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocok tanam dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
C.    Antara Partisipasi Sosial dan Mobilitas Sosial
1.      Kecelakaan Pembangunan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan ketika sebuah proses pembangunan dilaksanakan. Masalah yang kemudian sering muncul adalah bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan seringkali berwujud mobilisasi masyarakat. Katanya partisipasi masyarakat, nyatanya adalah mobilisasi masyarakat. [4]
Pada masa Baru, yang dinamakan partisipasi masyarakat adalah pemerintah yang membuat rencana pembangunan, lantas rakyat diminta untuk mendukung rencana itu untuk melaksanakannya.[5]
Padahal, rakyat seharusnya dilibatkan secara total pada proses  pembangunan dari awal sampai akhir, agar rakyat tahu dan mengerti apa dan bagaimana yang disebut dengan pembangunan yang akhirnya rakyat pula yang akan menikmati dari hasil semua pembangunan tersebut.
Dalam negara kita sudah bukan menjadi rahasia bersama Orde baru di bangun di atas fondasi yang retak yang sama sekali tidak santun kepada rakyat, rupanya setiap rezim yang berkuasa selalu mempunyai mantra-mantra tersendiri.  Kalau zaman Orde Lama mantranya revolusi, sehingga siapa saja yang tidak setuju atasnya akan dicap sebagai kontra-revolusi. Maka pada zaman Orde Baru mantranya adalah pembangunan. Siapa saja tidak setuju terhadap segala proyek pemangunan yang disorongkan, pemerintah ia akan  segera di cap sebagai anti pembangunan, mbalelo, PKI dan sebagainya.[6]
Agaknya  inilah yang dengan sedih direkam oleh sejarah bangsa ini ketika berbicara perihal nasib yang  menimpa warga yang ada disekitar waduk Kedung Ombo. Akibat menolak dipindahkan , mereka kemudian di cap sebagai mbalelo terhadap pemerintah .
 Mengingat masa kelam Orde Baru yang se-ring disebut ”orde pembangunan”, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?  
Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ”suci” sehingga atas namanya menjadi ”sahih” merampas hak-hak asasi manusia. Tentu belum kering dari ingatan, berbagai kasus yang mentorpedo rasa keadilan seperti Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran yang mengatasnamakan ”pembangunan”. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ”tumbal” (jer basuki mawa bea)?
Sayup-sayup, kini terdengar suara lain dan mulai terdengar nyaring. Suara tersebut antara lain dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.
Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Ma-syarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, pe-nyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.
Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri.      Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.
Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.
Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies (baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para ”intelektual tukang” maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran. Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan.
Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ”ditujukan” untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.
Begitulah, secara umum kondisi rakyat Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan ”kedigdayaan” rakyat.
Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.
Fenomena ini tentu membingungkan penganut ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis. ”Investasi ekonomi rakyat” (underground economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan kekuatannya.
Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan, investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat, sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).
Tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.
Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat, tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development, menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan, keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.  
Agenda ke Depan
Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.
Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada, diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).
Dan perlu disadari, akibat adanya ”dualisme ekonomi” sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan. Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini. [7]
Disinilah letak celakanya, pembangunanpun akhirnya melahirkan tumbal demi tumbal. Menurut  Muhamad Sobary ada tiga jenis tumbal :
1.      Manusia yang sengaja dibikin tumal oleh permintaan tradisi, lewat aneka macam upacara. Tumbal ini dibunuh demi pembangunan. Misalnya, pemnbangunan jembatan kereta api di Kulonprogo Yogyakarta yang menumbalkan seorang ronggeng.
2.      Tumbal yang jatuh sebagai korban sia-sia dalam suatu proyek pembangunan, semata-mata karena kelalaian. Mereka bisa terdiri atas para kuli yang bekerja tanpa alat-alat pengaman, atau mandor-mandor yang tanpa sengaja tertimpa batu dari atas. Di situ ia mati sia-sia. Ia menjadi tumbal tidak bernama bagi pembangunan di situ.
3.      Tumbal yang agak simbolik sifatnya. Tumbal jenis ini muncul dalam pembangunan, yang dasarnya mungkin ingin betul bersikap manusiawi, tapi tidak urung dalam tingkat implementasinya, tumbal-tumbal berjatuhan amat banyak yang amat sering tidak bisa dicegah. Tumbal jenis ini, sebagaimana ditulis Loekman dalam bukunya, Membangun Masyarakat Partsipasitif, bisa berupa mereka yang tanah dan pekarangannya tergusur atau tepatnya digusur atau mereka yan tanahnya diserobot untuk dijadikan waduk atau dam.[8]
Secara konseptual, partisipasi sosial sosial merupakan alat dan tujuan msyarakat. Sebagai sarana da alat pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai penggrak dan pengarah prosda alat pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai penggrak dan pengarah proses perubahan sosial berencana, demokratisasi kehidupan sosial ekonomi dan politik yang berdasarkan pada pemerataan dan keadilan sosial ; pemerataan pelaksanaan serta hasil pembangunan; pemupukan harga diri dan kepercayaan kepada kemampuan masyarakat yang sejatera berkeadilan dan bertanggung jawab. Dan itulah yang disebut sebagai masyarakat madani masyarakat yang bebas dari rasa takut.[9]
B. Antara Pembangunan Dan Proyek Pembangunan
Dengan melihat fenomena yang terjadi selama ini, diduga kuat bahwa yang paling banyak dilakukan oleh Orde Baru.
            Cary (1970:144) menekankan bahwa partisipasi sosial warga masyarakat adalah kebersamaan atau saling memberikan sumbangan akan kepentingan dan masalah-masalah bersama, yang tumbuh dari kepentingan dan perhatian individu warga masyarakat itu sendiri.
            Lebih jauh, Cary menjelaskan bahwa setidaknya ada empat kecenderungan dasar dalam proses pembangunan masyarakat dewasa ini.
1)      Kecenderungan ke arah tujuan bertahap oleh warga masyarakat itu sendiri. Penentuan tujuan bertahap oleh masyarakat adalah perumusan tujuan yang akan dicapai dan rincian kegiatan pelaksanaannya, yang bersumber kepada gagasan dan prakarsa masyarakat sendiri.
2)      Kecenderungan ke arah keswadayaan serta pengembangan kekuatan, prakarsa, tanggung jawab dan kepercayaan atas kemampuan sendiri warga masyarakat itu sendiri sebagai subyek pembangunan.
3)      Kecenderungan ke arah demokratisasi proses dan hubungan sosial di dalam masyarakat. Partisipasi sosial memerlukan suatu organisasi yang efisien dan efektif, namun harus dibangun di atas hubungan sosial yang manusiawi dan demokratis.
4)      Kecenderungan ke arah pembuatan keputusan ke arah yang rasional oleh masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat tidak lain adalah peningkatan mutu kegotong royongan tradisional yang berdasarkan spontanitas, kesukarelaan dan bersifat insidental.
Bila kondisi ini tercipta, maka akan tercipta kondisi berikutnya, yakni satu keadaan dimana masyarakat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap segala hsil pembangunan. Dan dengan demikian, akan lahirlah kemudian apa yang tadi disebut sebagai masyarakat madani, atau civil society.
Dengan paparan tadi, maka jelaslah sudah betapa partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bukan saja hal itu akan membantu pemerintah sendiri, tetapi terutama dengan cara itu, masyarakat akan merasa lebih dihargai dan dihormati.
Boleh jadi, apa yang di usulkan Loekman tentang perlunya semacam feasibility studies alias studi kelayakan yang memadai dengan dukungan base line data yang akurat sebelum sebuah pembangunan dijalankan, layak untuk dipertimbangkan.
Lebih jauh kami juga tidak menolak apa yang dikemukakan Loekman bahwa untuk mengetahui atau mengungkap kebutuhan dasr rakyat hendaknya digunakan model participation action reseach. Melalui model ini, keterlibatan manusia secara total sangat diperhatikan. Pendekatan ini juga memandang lingkup komunitas sebagai subjek pembangunan, dan bukan sebaliknya sebagai obyek pembangunan.
Dengan paparan sederhana tadi, maka menjadi jelaslah betapa definisi pasrtisipasi sosial yang diberikan kalangan birokrasi sudah tidak mungkin dipakai lagi. Sejauh ini, rumusan definisi partisipasi yang ada dan berlaku di lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Sebagaimana dinyatakan Loekman, adanya partisipasi masyarakat adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak, setidaknya karena sejumlah alaan berikut : pertama, berusaha mengawinkan model pembangunan yang bersifat top-down dengan bottom up. Kedua, memberikan dorongan kepada rakyat agar mereka memiliki rasa memiliki dan bertanggung jawab (sense of responsibility) atau melu bandarbeni dalam terminologi Jawa terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan yang sedang dijalankan.
Menurut hemat kami, kalau partisipasi masyarakat dalam arti sesungguhnya terwujud dalam pembangunan nasional kita, maka impian untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai masyarakat madani atau civil society tampaknya segera akan terwujud.
Pada masa-masa mendatang tidak boleh ada lagi politik-politik pembangunan yang keliru. Atau setidaknya jangan sampai terlalu banyak kebijakan pembangunan yang keliru. Sebab bila politik pembangunan keliru maka akibat yang paling jauh tidak disandang oleh para perumus kebijakan dan strategi pembangunan, melainkan oleh rakyat juga. Pada saat kebijakan ekonomi benar, rakyat tidak begitu banyak merasakan, dan ketika sebuah kebijakan pembangunan keliru, maka rakyatlah yang paling dahulu menderita.


[1]  Budiono 2005 Kamus ilmiah populer Inernasional ,Alumni Surabaya ,hlm 478
[2] www.kamushukum.com/
[3] Budiana. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Alumni Surabaya,  hlm 606
[4] Syamsudin RS, Agus Ahmad Safe’i, Wardi Bachtiar ,2002  Sosiologi pembangunan Gerbang Masyarakat baru Press, hlm 81

[5] Ibid hlm 81
[6] Ibid hlm 81
[7] Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya
(Dimuat di Sinar Harapan, 29 April 2003)
[8] Sosiologi Pembangunan. Op Cit hlm 82
[9] Ibid hlm  82

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RITUAL TRADISI NGIKIS

HADITS TENTANG INTERAKSI SOSIAL Oleh: EROS ROSNIDA

PROSES DAN TAHAPAN PERUBAHAN SOSIAL