RITUAL TRADISI NGIKIS
TRADISI NGIKIS
Sebuah Ritual Tradisi Budaya Dan Agama
( Studi Kasus Di Karang Kamulian Kab
Ciamis Jawa Barat )
A.
Pendahuluan
Nyucruk Galur Mapay Bagal Nyungsi Kawit Gigirangan, sebuah ungkapan bahasa sunda yang selama ini dipakai dipakai oleh masyarakat
untuk mencari asal usul nenek moyangnya. Diawal abad globalisasi ini ungkapan di atas sudah
terdengar samar ditelinga penulis maupun di telinga masyarakat, fenomena tersebut banyak dialami oleh masyarakat,
karena kurangnya perhatian terhadap masa lalu.
Kurangnya perhatian masyarakat kepada
masa lalu sampai melembaga, terbukti kalangan pemerintahpun sangat kurang
berminat membicarakan masa lalu atau menyibak sejarah, faktapun berbicara, hari
ini tak akan mungkin ada kalau tidak ada hari kemarin, tidak akan ada zaman
sekarang kalau tidak melalui zaman dahulu, tapi mengapa masyarakat seolah-olah
enggan untuk mengenang masa lampau, bahkan
lebih tragisnya masyarakat dengan mudah melupakan
sama sekali sejarahnya, Bung Karno pernah berpesan “ JAS MERAH “ artinya
jangan melupakan sejarah. Baik itu sejarah pribadi individu, masyarakat, dan
bangsa, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Ketidak
jelasan sejarah bangsa ini selain kurang mendapat tempat di hati masyarakat,
para sejarawan seringkali dibiaskan oleh tatanan kekuasaan yang ada, sehingga
dimensi politik, idiologis turut menentukan alur benang merah keberadaan
sejarah yang disusun. Pengakuan terhadap sejarah masa lalu sangat mahal, perlu
perjuangan yang berat karena terdistorsi oleh kepentingan diatas, ditambah lagi
memasuki era kapitalisme dimensi
kehidupan para peminat sejarah dibenturkan dengan kebutuhan materil dan
tuntutan perkembangan zaman.
Untuk menelusuri sejarah masa lalu bangsa
Indonesia jelas menghadapi kendala yang sangat berat, selain kedua dimensi di
atas, dimensi lain yang tidak kalah menyulitkan adalah kolonialisme, karena
bangsa ini lebih dari 350 tahun terbelenggu oleh tirani penjajahan.
Banyak buku sejarah karya sejarawan bangsa
ini, tapi karena perbedaaan tempat dan waktu penulisan yang satu dengan yang
lain masih belum runut , kadang diketemukan termonologi zaman yang keliru
membuat penamaan tokoh dan tempat yang
salah. Akibat hal itu seringkali menimbulkan interpretasi yang salah dari
masyarakat generasi penerusnya, menimbulkan pertentangan antar etnis karena
merasa lebih tua, lebih faham, lebih tinggi dsb sehingga menjadi kontra
produktif bagi penyelenggaraan negara dalam berbangsa dan bernegara
Ternyata dimensi ruang gerak dan waktu
sangat berharga bagi suatu kelangsungan
sebuah kehidupan, Albert Einstein
menempatkan waktu merupakan satu variabel utama
dalam teori relativitasnya, bahkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Ashr (demi masa) mengharuskan menggunakan waktu sebaik-baiknya
dalam kehidupan manusia. Karena orang yang tidak menghargai waktu adalah orang
yang merugi.
Dalam kontek ini nyucruk galur neang raratan, nyungsi
carita baheula pikeun eunteungeun kiwari, dalam sejarah khususnya
sejarah budaya sunda rasanya harus digali kembali agar generasi penerus tahu bahwa budaya sunda
itu sangat kaya, unik tidak dimiliki oleh bangsa lain dan membanggakan untuk
ditampilkan di pentas dunia. Seperti yang akan penulis tuturkan di disini salah satu dari sekian kebudayaan tradisi
yang ada di sunda yaitu budaya Ngikis
yang ada di daerah Ciamis dan sekitarnya
Dengan adanya pemaparan ini diharapkan
generasi muda khususnya dan masyarakat umumnya jadi tahu apa yang disebut
dengan tradisi Ngikis ini.
B. Latar Belakang Munculnya Tradisi Ngikis
Kegiatan Ngikis selalu dilaksanakan oleh masyarakat tatar Galuh Ciamis. Tidak hanya di Karangkamulyan tetapi di berbagai tempat
diantaranya Astana Gede Kawali, Panjalu, Kertabumi, Bojong Lopang, dimana di
tempat itu terdapat situs atau makam leluhur.
Tempat-tempat lainya yang masih memelihara tradisi ngikis adalah: .
1.
Di Karangkamulyan terdapat
situs Pangcalikan, di tempat inilah kegiatan Ngikis dilaksanakan tiap tahun.
2.
Di Astana Gede Kawali,
peninggalan raja Wastu Kencana dan juga Bupati Kawali, di tempat inilah
dilaksanakan Ngikis.
3.
Di Panjalu makam Borosngora
4.
Di Kertabumi, Prabu Dimuntur
merupakan Bupati Galuh Kertabumi.
5.
Bojong Lopang Cisaga, Apun
Pager Gunung (Dalem Singaperbangsa III) Bupati Galuh Kertabumi yang ke V (Jana,
wawancara 15 November 2009)
Tradisi Ngikis adalah
ritual yang dilaksanakan pada bulan Rewah (sebelum bulan Ramadhan) dengan
memagar salah satu makam pendiri kerajaan Galuh, dengan menggunakan bambu.
Tradisi ini berlangsung turun-temurun sebagai refleksi penghormatan kepada
leluhur yang telah meninggal dunia atau petilasannya. Tradisi ini telah
berlangsung sejak para pendiri Galuh dari semenjak Wretikandayun sampai
bupati-bupati Galuh berikutnya (Aif Syarifuddin, 15 November 2009)
Ritual Ngikis selain
dilaksanakan bulan Rewah, juga harinya ditentukan bersama masyarakat sekitar,
tidak boleh diluar hari Senin atau Kamis. Ritual yang nampak berdasarkan
pengamatan penulis dilaksanakan sebagai berikut:
1)
Mengambil bambu, ada yang
memotong dan menebang di sekitar makam atau situs yang akan dipagar, karena salah satu ciri dari situs atau makam
yang ada di Tatar Galuh Ciamis hampir semuanya dikelilingi oleh pohon bambu
2)
Menebang bambu dilarang yang ada di dekat makam atau situs biasanya
yang agak jauh dari makam atau situs tersebut. Dengan demikian, tidak sembarang
asal tebang harus terlebih dahulu Sanduk Papaplaku ( istilah Sunda
“Amitan”) artinya harus meminta restu terlebih dahulu kepada penguasa alam
gaib, karena kita sebagai makhluk menyakini bahwa hakekatnya kita harus mohon
ijin muaranya kepada yang punya langit dan bumi yakni Allah SWT.
3)
Setelah bambu ditebang lalu
dipotong, dibelah untuk disusun dijadikan pagar
4)
Apabila bilahan-bilahan bambu
sudah selesai kemudian dipasang disekeliling makam atau situs
5)
Kemudian dilakukan ritual
dengan kebiasaan yang ada di daerah itu. Dibuka dengan basmalah, juga pembacaan
ayat Suci Al Qur’an, Prakata
Penyelenggara lalu Narator meriwayatkan secara singkat sejarah leluhur yang
telah meninggal di tempat itu.
6)
Berdo’a bersama-sama memohon
arwah yang meninggal diterima disisiNya.
7)
Setelah berakhir acara
dilaksanakan jamuan makan bersama di luar area situs dengan bekal yang dibawa
masing-masing.
Kemudian dimana posisi
Ngikis dalam kontek latar belakang ini, tentu bukan lagi soal pemanfaatan
upacara ritual dan seremoni, beserta lain-lain aktivitas manusia didalam
domainnya. Permainan dan kesenian, serta pemujaan dan kebangkitan tetapi justru
apakah apa yang dapat kita kerjakan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam
hal upacara ini. Bagaimana kita bisa merencanakan upacara yang selaras dengan
pembangunan. Dan akhirnya apa yang kita lakukan untuk merubah upacara ini
menjadi bagian tak terlepas dari proses modernisasi. Perlu diingat pendapat
dari Edward Shills, bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat itu bermula
dari yang profane, yang perifeer, menuju ke yang sacral, yang centre (terpusat)
Dengan demikian tidak
perlu apriori terhadap budaya Ngikis, karena itu merupakan bagian dari
kebudayaan orang Sunda yang bersifat turun-temurun yakni sejak raja Kencana
Wangi (718-720). Tradisi Ngikis terus dipertahankan oleh sebagian masyarkat
Sunda, karena cenderung diambang kepunahan. Oleh sebab itu kewajiban masyarakat
Sunda untuk terus mempertahankan tradisi tersebut sebagai bentuk penghargaan
kepada pencipta atau pembentuk tradisi ini. Bangsa yang besar adalah bangsa
yang mampu mempertahankan tradisi yang positif dari para pendahulunya, karena
Ngikis memiliki banyak makna dengan tujuan sebagai berikut:
1)
Menghormati leluhur Galuh
sebagai cikal bakal pendiri kerajaan, ini dilakukan di kuburan atau di tempat
situs peninggalan. Tradisi di Karangkamulyan di suatu tempat yang disebut Batu
Pangcalikan. Batu tersebut menurut
nara sumber adalah lambang peribadatan yang merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada
juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai
stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang
merupakan peninggalan Hindu letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang
berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu Pangcalikan ini ditemukan 50 meter ke
arah timur dari lokasi sekarang. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang
berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang
tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan
peninggalan agama Hindu (Disbudpar, 9 Oktober 2006).
2)
Dengan adanya nuansa Islam yang
berkembang di Tatar Galuh, makna dari Ngikis itu memagari diri dari hawa
nafsu, dimana inti dari puasa adalah memerangi hawa nafsu, baik nafsu lahir
(makan, minum) juga nafsu bathin (sex, iri, dengki dan menganiaya orang)
3)
Membersihkan area makam dan
situs dengan cara menyapu sampah disekitarnya, sebagaimana Islam mengajarkan bahwa
kebersihan itu sebagian dari iman.
4)
Menjalin siraturahmi, karena
pada pelaksanaannya masyarakat dengan suka rela dipimpin oleh juru pelihara atau
kuncen, pejabat pemerintah dari tingkat RT sampai Camat serta Alim Ulama
bersama-sama membersihkan area makam atau situs
5)
Mengingatkan kembali tentang
leluhur yang meninggal di tempat itu, atau bekas-bekas peninggalan benda tidak
bergerak, dengan cara meriwayatkan kembali jejak langkah para pendahulu.
6)
Mengingatkan kepada yang hadir,
bahwa kita sebagai makhluk yang hidup di dunia ini akan juga mati, sehingga
timbul kesadaran bahwa akan ada alam kematian, setelah kehidupan yang panjang
ini.
7)
Memupuk rasa kebersamaan atau
gotong-royong sebagai ciri khas budaya Sunda yang harus dipelihara dan
dimunculkan kembali di tengah-tengah kehidupan yang individualis.
8)
Membiasakan berbuat baik dengan
saling memberi, saling mencicipi makanan yang dibawa masing-masing, sebagai
rasa syukur kepada Allah SWT. Menjadi kebiasaan masyarakat dengan suka rela
membawa nasi dengan lauk pauknya atau membawa tumpeng yang dimakan
bersama-sama.
9)
Medo’akan arwah yang sudah
meninggal, sebagai bukti kepedulian dalam bentuk ritual, ada yang membaca Surat
Yaasin, atau berdo’a dipimpin oleh Kyai.
Sejak kapan budaya Ngikis
ini terbentuk, harus ditelusuri dari silsilah raja-raja yang berkuasa di
kerajaan Galuh Karangkamulyan. Bedasarkan identifikasi dan interpretasi
penulis, ada kesamaan nama gelar dengan tradisi tersebut. Prabu Kencanawangi
sebagai generasi ke empat dari kerajaan Sunda Galuh Karangkamulyan (718-720),
memiliki gelar Sang Lumahing Kikis berarti ada kesamaan kata “kikis” dengan
kata “Ngikis”. Untuk lebih jelasnya lihat silsilah berikut ini:
SILSILAH KERAJAAN SUNDA DAN GALUH
|
10)
11)
12)
13)
14)
Sumber: Mamun
Atmamihardja (1958: 82)
Pada masa Padmahariwangsa Kerajaan Sunda terpecah
menjadi kerajaan Galuh Karangkamulyan dibawah Prabu Kencana Wangi, sedangkan
kerajaan induk Sunda dikuasai Purbasora. Pembagian kekuasaan ini dikarenakan
keduanya pewaris tahta kerajaan Sunda, untuk mencegah konflik antara pewaris
tahta, Prabu Kencana Wangi atau Sang Lumahing Kikis di daulat berkuasa di
bagian selatan Kerajaan Sunda. (Saleh Darmasasmita, 2003:140-141)
Dengan demikian tradisi
Ngikis mulai ada sejak kerajaan Galuh Karangkamulyan diperintah oleh Prabu
Kencana Wangi. Gelar yang diberikan rakyat kepadanya yakni “Sang Lumahing
Kikis” sebagai bentuk penghargaan bahwa Prabu Kencana Wangi sangat komit
terhadap keamanan dan kehormatan negara. Hal ini penting karena tidak tertutup
kemungkinan antara kerajaan Galuh dengan kerajaan Sunda akan timbul konflik
atau peperangan.
Menurut Poerbatjaraka,
tokoh Prabu Wangi (Sang Lumahing Kikis) memang ada, walaupun silsilahnya cukup
rumit. Lihat silsilah berikut ini:
15)
16)
Sumber: Poerbatjaraka; Saleh Darmasasmita (2003:140-141)
Terlepas adanya perbedaan
tersebut, yang jelas Sang Lumahing Ngikis (Prabu Kencana Wangi), Poerbatjaraka
maupun Saleh Darmasasmita sepakat tokoh tersebut ada dan penletak dasar budaya
Ngikis. Dengan demikian melihat masa pemerintahanya (718-720 M) berarti budaya
Ngikis sudah mulai ada sejak abad ke 7 M, seiring dengan adanya pengaruh Islam sudah mulai dikenal masyarakat Sunda
melalui interaksi dengan pedagang Arab Islam. (Zamakharjari Dhofier, 1994:8)
Kalau di dalam Ngelmu ada
Mantra, ada laku, ada protap, di dalam Ngikis juga ada, sehingga filsafat
Ngikis akan menjadi landasan mengapa masyarakat sampai sekarang masih
mempertahankan budaya tersebut. Yang pasti amanat leluhur Sunda menjadi pijakan
agar tetap menghormati peninggalan karuhun. Naskah (Kropak 632) yang
diterjemahkan oleh Atja (1981) menyatakan perlunya menggali tradisi agar tidak
terjadi “putus wekas” (putus jejak/keturunan) dan seringlah bertanya
kepada orang-orang tua, niscaya tidak akan hina dan tersesat.dalam bahasa Sunda
asli sebagai berikut:
“Hana nguni hana mangke tan hana nguni
tan hana mangke aya ma baheula aya tu ayeuna hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna
hana tu catangna” (Atja, 1981:40)
Ada dahulu ada sekarang tidak ada dahulu
tidak akan ada sekarang ada masa silam ada masa kini, tidak ada masa kini jika
tidak ada masa silam, ada tonggak ada batang tidak ada tonggak tidak akan ada
batang bila ada tonggak pasti ada batangnya (Terjemahan oleh penulis)
Pemahaman yang bisa
diambil dari kalimat tersebut adalah: tak akan ada kehidupan sekarang tanpa
adanya nenek moyang kita yang hidup pada jaman sebelumnya, dengan demikian masa
sekarang sangat dibentuk oleh apa yang terjadi pada masa lalu. Tidak akan
ada pohon apabila tidak ada tunggul,
ada manusia pasti ada yang melahirkanya yaitu nenek moyang (karuhun) dengan
seperangkat adat dan kebiasaanya, untuk diwariskan dan dipelihara sebagai
anugrah.
C.
Tahapan Ritual Tradisi
Ngikis
Dalam pelaksanaan ritus
dan seremonial ngikis , Kuncen (juru kunci) bersila sebagai pemimpin upacara.
Seremonial mempunyai “profil sosial” serta bersifat komuniti sebagai penjelmaan
“Sang Dumadi” atau Tuhan Yang Maha Esa
dalam kehidupan bersama, masyarakat di pedesaan tidak bisa dilepaskan dari
bebrapa faktor kehidupan lain yakni “kebaktian” yang tidak bisa dilepaskan pula
dari kesengsaraan dan keselarasan hidup.
Kuncen dengan hidmat
meminpin kesaktian ini dalam bentuk “rajah” atau do’a kepada nenek moyang yang
sudah tiada mohon ijin mendatangi kuburanya dan mohon diterima persembahanya.
Rajah
Pun ........
Sampun
.........
Ka luhur ka
Sang Rumuhun
Ka guru putra
Hiang Bayu
Ka handap ka
Sang Batara
Kabatara
Nagaraja
Kabatara
Nagasugih
Punika rajah
pamunah
Paragi munah
sagala
Munah lemah munah
imah
Munah kayu
katut watu
Munah raja
rejeng benda
|
Diajutkan dengan Pasaduan:
Pun............
paralun....... sampurasun
Ka anu nunggul di kalanggengan
Anu langgeng dina nunggal
Anu ngawasa hirup jeung hurip
Anu ngawasa euweh jeung aya
|
(Mohon ampun dan maaf kepada yang dilangit maupun di bumi atas
segala kelancanganya, semoga digampangkan segala hal untuk kehidupan manusia,
karena Sang Nunggal yang menjaga kelanggengan hidup dan mati, dan ada menjadi
tiada)
Setelah Rajah dan
Pasaduan disampaikan, bebrapa wanita membawa sesaji dan diserahkan kepada juru kunci
untuk disimpan secara hati-hati di tempat/makam yang akan dikikis. Sesajian
atau sesajen dalam pelaksanaan Ngikis bentuknya di berbagai tempat ada
perbedaan, bahkan ada yang memakai sesajian dan ada pula yang tidak menggunakan
sesajen. Benda-benda yang menjadi kelengkapan sesajian adalah: 1) Bunga tujuh
ruapa; 2) Menyan; 3) Cerutu; 4) Telor ayam kampong; 5) Kopi pahit dan kopi
manis; 6) Bubur beras putih; 7) Kelapa Hijau; 8) Bakakak ayam (ayam yang
dipanggang utuh); 9) Kupat juru tiga dan juru lima; 10) Rurujakan; 11) Minyak
wangi
Sebelum sesajen disimpan,
kuncen membacakan beberapa mantra, setelah mantra selesai dengan suara nyaring,
kuncen menyampaikan Rajah.
Sampurasun......... Pun
sampun ka Gusti Nu Maha Nu ngusikeun
nu malikeun Nu murbeng
sadaya alam Pangeran raga jeung sukma
|
||
Neda pangaping
pangjaring Diraksa tina gogoda Anu jirim anu
jisim Mugia
masing waluya
|
||
Nu dipamrih masing
bukti Nu diseja mangka
nyata Pikeum obor
sarerea Ya Allah
Robul Daroya
|
||
(Mohon ampun kepada Tuhan Yang Kuasa yang mengizinlan makhluk
bergerak, menguasai seluruh alam, Tuhannya roh dan jiwa, mohon perlindungan dan
bimbingan kepada yang tiada maupun yang masih ada, semoga member kebahagiaan
tanpa pamrih, yang diminta menjadi nyata untuk penerang semua umat, Ya allah
Yang Maha Pengasih)
Setelah sesajian disimpan
oleh kuncen senior, narasi atau Rajah dilanjutkan oleh kuncen yunior sebagai
juru pelakon, yang akan membacakan silsilah leluhur kerajaan Galuh. Sebelum
membacakan silsilah Rajah dan Pasaduan harus tetap disampaikan selengkapnya
sebagai berikut:
Pun paralun
kasakur anu diluhur Anu
nunggal
Kanu nyangking kawening
Nu ngagem wewenang
Nu nunggal kawasa
Pun
Tabe pun Ka
sakabeh nu dihandap
Kasakabeh anu kumelip anu arusik
Nu ngawaruga dina wujud sewang-sewangan Kasakabeh
Nu garedag nu lumampah
Nu hirup jadi pangesi Nyaricingan jagat
ieu
Nyaricingan alam ieu
Kasakabeh
...................................
Nu kadeuleu teu kaambe
Nu kaambeu tapi teu aya
Nu araya tapi euweuh
Nu areuweuh
tapi jaronghok
Nu narindak tapi teu nampak
Nu nyoara teu ngarupa
Kasakabeh luluhur Galuh jeung
Sunda
1. Resi Guru Manik Maya
2. Raja Putra Suraliman Sakti
3. Rahiyang Jalu Kadiawan
4. Rahiyang Galuh Kadiawati
5. Rahiyang Wreti Kandayun
6. Rahiyang Rawung Langit
7. Rahiyang Sempak Waja
8. Rahiyang Mandi Minyak
9. Rahiyang Seuweu Karma
10. Prabu Terusbawa/Rahiyang Sunda Sembawa 11. Rahiyang
Sanjay
12. Rakean Darmasiksa Patanjala
13. Prabu Permadikusumah Ajar Sukaresi 14. Ciung
Wanara
15. Rahiyang Banga 16.
Aria Bimaraksa /Ki Balangantrang
17. Prabu Wangi Lingga Buana Wisesa
18 Prabu Wastu Kencana
19. Prabu Dewa Niskala
20. Prabu Susuk Tunggal
21. Prabu Siliwangi, Sri Paduka Maharaja Pakuan Pajajaran 22. Prabu
Dimuntur
23. Wiraperbangsa
24. Singaperbangsa (Tambakbaya)
25. Apun Pagar Gunung (Singaperbangsa)
Menyebutkan para leluhur
Galuh, sebagai bentuk “sesadu amitan” (Mohon maaf dan mohon ijin) kepada
karuhun Sunda Galuh. Penyebutan tokoh yang demikian banyak sering dianggap
tidak efisien waktu dalam ritual Ngikis, untuk itu penyebutan boleh sebagian
saja, tetapi yang terpenting menyebutkan
leluhur yang dimakamkan di tempat ritual Ngikis dilangsungkan, serta disebut di
urutan terakhir (Aif Saripudin, wawancara 8 November 2009)
Setelah selesai mengabsen
tokoh-tokoh Galuh, Kemudian diakhiri dengan mantra penutup:
Neda ampun nyaparalun
Neda jembar pangampura
Nyusud catur nu kapungkur
Mapai laratan nu baheula Nya ayeuna
pisan seja mintonkeun pangabakti
Pakeun tanjer di buana
Pakeun Sunda nu sawawa Run
turun jati rahayu
Bral datang banjaran bagja ........... cag........
Setelah pembacaan Rajah
dan Pesaduan dilanjutkan dengan pembacaan tahlil, biasanya dipimpin oleh tokoh
mayarakat Ajengan, Ustadz atau Kiyai, sesepuh di masyarakat dimana pelaksanaan
acara itu berlangsung, atau ada yang membawa yasinan.
Makna dari bubuka amitan
ini, tiada lain menanamkan kembali rasa hormat terhadap leluhur dalam istilah
masyarakat Sunda Galuh “sanduk-sanduk papalaku”, hakekatnya bahwa kita harus
ingat akan adanya kematian, setelah hidup juga didalamnya pengakuan kita
sebagai insane dan makhluk sosial bahwa hidup di dunia ini ada yang mengatur
yaitu Allah Subhanahuwataala, beribadah hanyalah kepadanya, baik Mahdhoh maupun
Ghoer Mahdhoh.
Meskipun ritual Ngikis
bukan migusti (Taqlid Kepada orang yang mati), namun mupusti (memelihara
ajaran), harus dimaklumi bahwa seseorang dengan sungguh-sungguh merapel mantra
ini beserta laku dan patrapnya (kenyakinan) sebagai orang menganggap “alangkah
mudahnya mencari rejeki” bahkan NielsMulder (dalam Darmanto Jatman, 1988:117)
menyatakan bahwa rupanya Dewa-dewa di Jawa mudah sekali disogok untuk
membutuhkan welas asihnya. Ada unsur
Jawa asli, ada unsur Hindu dan ada unsur Islamnya. Kemampuan klenik dan
sinkretik yang sering membuat orang tercengang. Mitos Dewi Sri dan Prabu
Siliwangi sebagai “mamayu ayuning bawana” tidak perlu dipertentangkan.
Mantra dan “Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe” bahkan mungkin diselaraskan.
Komentar
Posting Komentar