Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Apabila Sosiologi
difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik
generasasi paling luas, karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku
sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu
sosial lain.
Dalam ranah ilmu
Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan,
pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik
alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu
Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith,
mengabstraksikan dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula
yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.
Bersebrangan dengan itu
Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-kelompok ethnis,
terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau
pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut
dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical
Antrhopology) maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology
Cultural/Social Antrhopology).
Ilmu politik memusatkan
perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan
pertukaran kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam
menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka
peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan,
maupun membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa
cabang kelompok ilmu lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti
Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat
berharga untuk sosiologi.
Dalam zaman penjajahan
Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai satu kesatuan,
lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya. Berkaitan
dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun
Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum.
Mungkin minat tersebut
juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin menghayati sifat
dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di Nusantara.
Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan
perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal
abad ke-20.
Sejak tahun 1920-an
timbullah minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas,
karena gejala-gejala sosial yang disoroti tidak terbatas pada lingkungan suku
bangsa atau group ethnis. Di antaranya adalah B. Schrieke (1890-1945) yang
menulis karangan-karangan ethnografis dan sejarah, sehingga gabungan kedua
konteks itu bercorak Sosiologi. Salah satu variabel yang jelas mencerminkan
ilmu Sosiologi yang menjadi garapan Schrieke adalah Akulturasi. Misalnya
Shcrieke mengulas “Pergeseran kekuasaan Politik dan Ekonomi di Nusantara antara
abad ke 16 sampai abad ke-17”. Satu sebab mengapa Schrieke kurang dikenal dan
tulisannya kurang dibaca ialah karena beliau menulis dalam bahasa Belanda. Baru
setelah tahun 1955 beredarlah kumpulan karangan Schrieke yang diterjemahkan
kedalam bahasa Inggris (2 jilid. 1955).
Tokoh Belanda lain yang
melalui karangan sejarah melukiskan mayarakat Indonesia adalah J.C. van Leur
(1934-1942). Jelas konteks makronya tercermin dari judul-judul karangan seperti
a.l. Indonesian Trade and Society. Seorang Sarjana Hukum lain yang
dikenal dan menulis tentang Indonesia masa kini (kontemporer), bahkan juga
meletakkan Indonesia dalam konteks lebih luas lagi adalah Prof. W.F. Wertheim
(1899-2001) yang pernah mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1936) dan
menjadi guru besar tamu di Fakultas Pertanian, UI (Bogor) 1957. Karena
Wertheim mengalami pendudukan Jepang di Indonesia dan sempat mengamati
kebangkitan Nasional Indonesia pula, beliau, dapat merekam perubahan sosial
dalam bukunya “Indonesia Society in Transition” dari daerah jajahah menjadi
Republik yang berdaulat.
II. PERKEMBANGAN TEORI
SOSIOLOGI
Sarjana-sarjana Belanda
yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek
Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode
mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas
Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar
SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto,
Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi
Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak
Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis
tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain
seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang
dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi
di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber,
Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi
bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan
1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar
negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada
ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih
banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof.
Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di
Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa
pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak
terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya
kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari
theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong
ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian
yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang
dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825,
dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang
menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya
mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam
perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam
kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi
ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar
pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai
difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains
concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now
regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society
has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social
sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with
social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”.
(Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu
sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang
mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan
perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa
bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok
masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan
bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat
berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara
Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte,
Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory,
sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka
sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus
dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi
Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The
Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons
menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis
ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di
luar A.S.
Parsons juga mencoba
mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya
membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga
mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an
menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa
sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max
Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah
dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons,
tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro
yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika
Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang
dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena
menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”.
Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur
struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia
mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah
timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku
sosial yang lebih universal.
III. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation
state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang
digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori
struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang
dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang
mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang
sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria,
berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas
menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk
pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam
masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan
arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan
Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang
sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi
faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut
diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological
Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih
mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara
aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962)
dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding
(1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan
memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya
dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C.
Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The
Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2]
Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York,
Harper Torchbooks.
[3]
C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa
pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam
masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di
Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang
lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat
penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a.
Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin
terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan
gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman)
“Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia
dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah
jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang
tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda
selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945,
sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang
lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia
perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka
gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih
bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan
sekalipun.
Struktur feodal memang
berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi
sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan
perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada
di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan
bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan
negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial
bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang
sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu
ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta
perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai
komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat
lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social
elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal
abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa
perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan
bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi
yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk
menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.
Prof. Dr. Sediono MP
Tjondronegoro, Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Pusat, 1999 - 2003.
Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang
Berkemanusiaan”. Diselenggarakan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia, tanggal 28
Agustus 2002 di Bogor.
SUMBER ACUAN
BOUMAN, P.J. (1976).
Sosiologi, Pengertian dan masalah. Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius.
COSER, L. (1964). The
Function of Social Conflict. New York, The Free Press.
DURKHEIM, E. (1966).
The Division of Labour (Translation). New York, The Free Press.
_____________ (1962).
Socialism. London, Colliers Books
GOULDNER, Alvin W.
(1973). The Coming Crisis of Western Sociology. London, Heineman
HINDESS, Barry (ed.
1977). Sociological theories of the Economy. London, the Mac Millan Press.
KAZACIGIL, Ali (ed.
1994). Sociology: State of the Art I. International Social Sciences Journal,
February 1994:139. Paris, Blackwell Publ.
MARX, K. (1956).
Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. (Translation by T.B.
Bottomore). New York, Mc Graw-Hill Books.
MARTINELLI, alberto
(2002). “Markets, Government and Global Governance”. Presidential address, ISA
XV Congress, Brisbane 2002
MILLS, C, Wright
(1961). The Sociological Imagination. New York, Grove Press, Inc.
MUDIM BE, V.Y. (ed.
Dkk, 1996). Open the Social Sciences. Refort of the Guilbenkian Commission of
the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Science. Stanford,
Stanford Univ. Press.
PARSONS, Talcot (1951).
The Social System; The Major Exposition of the Author’s Conceptual Scheme. New
York, Free Press.
SIMMEL, G. (1955).
Conflict and the Web of Group Affixations. New York, The Free Press.
____________ (1950).
The sociology of George Simmel. New York, The Free Press of Glencol
SIMONDS, A.P. (1978).
Karl Mennheim’s Sociology of Knowledge. Oxford, Clarendom Press
SOROKIN, P.A. (1928).
Contemporary Sociological Theories; through the First Quarter of the 20th
Century. New York, Harper Torchbooks.
STEINER, Philippe
(2001). “The Sociology of Economic Knowledge”. The Return of Economic Sociology
in Europe (a. Symposium) dalam European Journal of Social Theory 4 (4). London,
Sage Publications
WEBER, M. (1964). The
Theory of Sociology Imagination. New York, Grove Press, Inc.
WERTHEIM, W.F. et.al.
(ed.s 1955-1957). Indonesian Sociological Studies; Selected Writings of B.
Schrieke (2 parts). The Haque, W. van Hoeve.
Sumber: Jurnal Ekonomi Rakyat
Komentar
Posting Komentar