RESUME
RESUME
SOSIOLOGI AGAMA
Karya :
Prof.Dr.H. DADANG KAHMAD.MsI
Oleh : Eros Rosnida
Dalam sosiologi, agama dikaji
sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai
disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs
pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak
hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret
kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam
mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakat. Dan
sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari
hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya-
yang khas dan diwujudkan dalam perilaku atau tindakan keseharian masyarakat.
Dalam fakta sosial berbagai tindakan individu dalam melakukan
hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain dipedomani oleh norma
dan adat istiadat seseorang.
“Fakta sosial adalah suatu cara
bertindak yang tetap atau sementara, yang memiliki kendala dari luar; atau
suatu cara bertindak yang umumya dalam suatu masyarakat yang terwujud dengan
sendirinya sehingga bebas dari manifestasi individual” (Emile Durkheim).(hal 4)
Fakta sosial berangkat dari asumsi
umum bahwa gejala sosial itu riil. gejala ini dapat dipelajari dengan metode
empiris yang memungkinkan suatu ilmu tentang masyarakat. Sebagai gejala sosial
ia mempunyai tiga karakteristik utama.
1.
Fakta sosial bersifat eksternal terhadap
individu ,artinya fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir, dan
berperasaan sebagai suatu kesadaran di luara individu
2.
Fakta sosial itu memaksa individu,
seseorang dipaksa dibimbing diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi oleh
berbagai fakta sosial yang ada di lingkungan masyarakat.
3.
Fakta sosial itu bersifat umum atau
tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.artinya fakta sosial itu milik
bersama,milik semua individu yang ada dalam masyarakat tersebut.
Agama merupakan hal paling asasi
bagi manusia. Ia tidak hanya dipandang sebagai aturan Tuhan untuk manusia,
tetapi juga merupakan sistem sosial dalam suatu masyarakat.
Dalam kenyataannya, agama tidak
hanya satu. Dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, misalnya, agama
yang dianut seseorang atau sekelompok orang dihadapkan pada klaim kebenaran
agama lain, tidak jarang timbul benturan, perselisihan, bahkan peperangan yang
bernuansa agama.
Dari sudut kajian teoligis, agama
yang dianut oleh manusia dikelompokkan dalam dua katagori: Pertama “agama
kebudayaan” ( cultural religions ) agama tabi.i atau agama ardhi yaitu
bukan agama yang diwahyukan melainkan terbentuk dari adat istiadat, dan
melembaga dalam bentuk agama formal. Kedua : “Agama samawi” atau agama wahyu yaitu agama yang diwahyukan melalui malaikat,
yang disebut juga agama Dinul Haqq.
Itulah konsekuensi logis memahami
agama hanya berdasarkan pendekatan teologis. Oleh karena itu, agar fenomena
keberagaman manusia itu dapat melahirkan kedamaian dan persaudaraan, seyogianya
setiap penganut agama memahami keyakinan agama yang lain melalui pendekatan
sosiologis.
Kemudian untuk pengertian sosiologi
sendiri adalah suatu kajian ilmiah tentang kehidupan masyarakat manusia.
Sosiolog (ahli sosiologi) berusaha mengadakan penelitian yang mendalam tentang
hakikat dan sebab-sebab dari berbagai keteraturan pola pikiran dan tindakan
manusia secara berulang-ulang. Berbeda dengan psikolog, yang memfokuskan
sasaran penelitiannya kepada berbagai karakterisitk pikiran dan tindakan
perorangan, sosiolog hanya tertarik pada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang
sebagai anggota suatu kelompok atau masyarakat.(hal 9)
Inilah salah satu nilai penting buku ini.
Dalam buku ini berusaha mengungkap
secara konseptual teori-teori sosiologis tentang agama, tentang kiat melakukan
kajian terhadap agama dengan pendekatan sosiologis, juga tentang konsep
kerukunan antar umat beragama di indonesia. Singkatnya buku ini berusaha
mengungkap bagaimana seseorang mengekspresikan keberagamaannya di hadapan
penganut agama lain tanpa ada benturan.
Teori jiwa “agama yang paling awal
bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya
dihuni oleh makhluk materi, tetapi juga oleh makhluk immateri yang disebut
jiwa” (Edward Burnet Taylor : 1832-1917).
Alam semesta ini dipercayai penuh
dengan jiwa-jiwa yang bebas merdeka, Pada tingkat selanjutnya dalam evolusi
agama, manusia percaya bahwa gerak alam ini disebabkan oleh jiwa yang ada
dibelakang peristiwa gejala alam itu.
Teori
batas akal “permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala
yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya.” (James G Frazer dari Inggris)….(hal
24)
Pada bagian lain, penulis menyorot
tentang metodologi penelitian sosiologi agama. Agama memang tidak luput dari
penelitian. Para ahli melakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari agama,
baik aspek ide maupun aspek perwujudan dari kenyataan, dari masalah keyakinan
dan ajaran yang dimiliki oleh suatu agama sampai pengaruh agama pada kehidupan
masyarakat pemeluknya. Sekurang-kurangnya ada dua pendekatan penting dalam
penelitian agama.
Pertama, pendekatan teologis, yaitu
pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti. Pendekatan ini
biasanya dilakukan untuk kepentingan agama yang diyakini si peneliti atau
penelitian terhadap suatu agama oleh pemeluk agama itu sendiri untuk menambah
pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Kedua, pendekatan keilmuan, yaitu pendekatan yang
memakai metodologi ilmiah, penelitian yang memakai aturan-aturan yang lazim
dalam penelitian keilmuan. Pendekatan ini memakai metodologi tertentu yang
diakui oleh dunia keilmuan, sistematis atau runtut dalam cara kerjanya,
empiris, dan objektif.
Dalam beberapa bagian tulisannya,
penulis secara naratif mengarahkan buku ini untuk meredam konflik antar agama.
Menurut penulis, agama selalu diliputi konflik. Konflik itu berawal dari sikap
yakin terhadap agamanya, dan keyakinannya semakin baik "orang baik"
itu justru semakin kuat membenarkan dirinya tidak toleran kepada orang lain,
bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang lain yang tidak sepaham dengan
dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran.
Agaknya untuk menghindari hal-hal
ini, alangkah baiknya bila seluruh komponen masyarakat menyadari kembali kepada
penegasan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya agama di sisi
Allah adalah al-hanifiyyat al samhah; semangat kebenaran yang lapang dan
terbuka; agama yang bersemangat kebenaran dan lapang serta terbuka untuk
menolong manusia. Jika saja semangat yang demikian itu diterapkan pada tataran
kehidupan sehari-hari, agama bisa menjadi pendorong semangat bagi setiap
tindakan sosial.
Konflik berwajah agama perlu dilihat
dalam spektrum yang luas, yaitu pada kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau
sosial budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni sebagai persoalan
agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar
nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia, yang menyentuh
keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa keagamaan, makin mendalam pula
rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian, agama tidak
mengangkat keluhuran martabat manusia.
Hubungan antara manusia dengan agama
merupakan hubungan totalitas. Atau dalam pengertian lain, bagaimanapun, manusia
tidak bisa dipisahkan dengan agama. Naumn karena agama yang dianut oleh manusia
tidak satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut
oleh setiap orang akan muncul ke permukaan.
Jika klaim tersebut dihadapkan pada
penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan antar
penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran. didalam buku ini
juga mencoba mengungkapkan bagaimana seseorang mengekspresikan keberagamannya
di hadapan penganut agama lain dengan tanpa benturan itu.
Dari pengertian ini agama bisa dimaknai
sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu
komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog
agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama
dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan
diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam
transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara
kolektif.
Didalam buku ini ada 16 bagian tulisan. Tulisan-tulisan tersebut mengungkapkan
secara detail konseptual dari mulai
teori-teori sosiologis tentang asal-usul agama hingga bagaimana melakukan
kajian terhadap agama dengan pendekatan sosiologi. Selanjutnya diakhiri ditutup
dengan tulisan tentang konsep kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Menurut saya, bagi kita yang sedang
mempelajari sosiologi agama rasanya wajib untuk membaca buku ini, karena buku
ini merupakan langkah awal untuk mempelajari teori-teori ilmu sosiologi agama
selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar