PROSES DAN TAHAPAN PERUBAHAN SOSIAL
PROSES DAN TAHAPAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh : Eros Rosnida
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk individu yang
tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat
dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian
lahirlah kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh
kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan
manusia dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial
terdapat persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam kelompok social yang telah
tersusun susunan masyarakatnya akan terjadinya sebuah perubahan dalam susunan
tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena perubahan merupakan hal yang
mutlak terjadi dimanapun tempatnya.
Perubahan sosial adalah
perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia
dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”.
Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan
sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.
Cara yang paling sederhana untuk
mengerti perubahan sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu, adalah dengan
membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu
sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai
perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik
dilakukan adalah mencoba mengungkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah
masyarakat itu sendiri.
Kenyataan mengenai
perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi
diantaranya: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction
of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan
faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin
perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi
boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
BAB II
DEFINISI DAN
AKIBAT PERUBAHAN SOSIAL
A.
Definisi Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah proses di
mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan
tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh
para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Proses perubahan sosial biasa
tediri dari tiga tahap:
- Invensi,
yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan
- Difusi,
yakni proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem
sosial.
- Konsekuensi,
yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat
pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan
atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat.
Dalam menghadapi perubahan sosial
budaya tentu masalah utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian
atau definisi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan[1]
. itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak
membicarakannya.
Proses sosial juga diartikan setiap
perubahan sosial atau interaksi yang dilihat sebagai kualitas dan arah
konsisten sebagai kualitas sehingga dengan mengabstraksikan suatu pola umum
dapat diamati serta disebut: seperti peniruan, akulturasi,konflik, dan stratifikasi. Baik buruknya suatu proses sosial
tergantung dimana situasi proses itu berlaku yang berkaitan dengan nilai atau
norma yang subyektif.[2]
Perubahan sosial dialami oleh setiap
masyarakat, yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan
masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga
menjadi makin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi
menjadi makin komersial; perubahan dalam tata cara kerja sehari-hari yang makin
ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam;
Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis;
perubahan dalam cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan
lain-lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli ilmu
sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka tentang perubahan
sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian
yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya,
pola perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta
kelembagaan-kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun
nonmaterial
Perubahan sosial dalam masyarakat
bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses.
Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota
masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk
memahami perubahan sosial.
Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen
perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang
secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya
dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based
karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan
terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau
organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces)
akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan
dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences
to change.
Langkah-langkah yang dapat diambil
untuk mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan suatu proses
penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah, (2) Changing,
merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun
memperlemah resistences, dan (3) Refreesing, membawa kembali
kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada
dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur
tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang
melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan
stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan
kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi.
Lippit (1958) mencoba
mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam
tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap
perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar dari Lewin.
Walaupun menyampaikan lima tahapan Tahap-tahap perubahan adalah sebagai
berikut: (1) tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan
pola relasi yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi
perubahan, dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.
Konsep pokok yang disampaikan oleh
Lippit diturunkan dari Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme
interaksional. Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan
terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan
tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences)
untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces
dan melemahkan resistences to change. Peran agen perubahan menjadi
sangat penting dalam memberikan kekuatan driving force.
Atkinson (1987) dan Brooten (1978),
menyatakan definisi perubahan merupakan kegiatan atau proses yang membuat
sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses
yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Ada empat
tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku,
individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa, tentang
kekuatannya, maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus
perubahan akan dapat berguna.[3]
Etzioni (1973) mengungkapkan bahwa,
perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi.
suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh
hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan
pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk
“evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki
pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk
perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut
pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan”
masyarakat.[4]
Menurut Spencer, suatu organisme
akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi
antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas,
differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti
pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari
keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat
tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil
yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat
industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas
menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya
perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya
peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya
masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran
Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal
dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai
tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola
pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap
baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan
pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi
perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian
kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan
terspesialisasi.
Membahas tentang perubahan sosial,
Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social statics (bangunan
struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan
struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan
utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan
menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan
hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada
bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Kornblum (1988), berusaha memberikan
suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial
meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial.
Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap
unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan
yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.[5]
Definisi lain dari perubahan sosial
adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut
adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana
perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya[6]
Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan
keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis,
biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Moore (2000), perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup
semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial
masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan
perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis
perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan. Aksi sosial dapat
berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat, karena perubahan sosial
merupakan bentuk intervensi sosial yang memberi pengaruh kepada klien atau
sistem klien yang tidak terlepas dari upaya melakukan perubahan berencana.
Pemberian pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya menciptakan suatu kondisi
atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien atau sistem agar
termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam usaha perubahan sosial.[7]
Akhirnya dikutip definisi Selo
Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan selanjutnya.
“Perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat,[8]
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya nilai-nilai,
sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya
mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga social ialah unsur
yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma.
Definisi lain dari perubahan sosial
adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut
adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana
perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya[9]
. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur
geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa
segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap
dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan sosial merupakan bagian
dari perubahan budayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang
meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan
tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya.
Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial.
Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan
tersebut sangat sulit untuk dipisahkan[10]
.
B. Konsep Perubahan Sosial.
Perubahan sosial dialami oleh setiap
masyarakat, yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan
masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga
menjadi makin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi
menjadi makin komersial; perubahan dalam tata cara kerja sehari-hari yang makin
ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam;
Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis;
perubahan dalam cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan
lain-lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli ilmu
sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka tentang perubahan
sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian
yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya,
pola perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-kelembagaan
masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmaterial
C. Pendekatan Teori-teori Klasik terhadap Perubahan Sosial
C. Pendekatan Teori-teori Klasik terhadap Perubahan Sosial
Dalam kelompok teori-teori perubahan
sosial klasik telah dibahas empat pandangan dari tokoh-tokoh terkenal yakni
August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. August Comte menyatakan
bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu tahapan-tahapan
perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan evolusi
intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai
dari tahap Teologis Primitif, kedua; tahap Metafisik transisional, dan ketiga;
tahap positif rasional. Setiap perubahan tahap pemikiran manusia tersebut
mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya, dan secara keseluruhan juga
mendorong perubahan sosial.
Karl Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial
sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian
masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara
kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja.
Dilain pihak Emile Durkheim melihat
perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan
demografis, yang merubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang
diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat
oleh solidaritas organistik.
Sementara itu Max Weber pada
dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat
dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal
ini dicontohkan Masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai
Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas
dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih
sesuai dengan tuntutan kehidupan modem.
D. Pendekatan Teori-teori Modern Terhadap Perubahan
Sosial
Dalam kelompok teori-teori modem
tentang perubahan sosial, yang sangat sering didiskusikan di antaranya adalah
pendekatan ekuilibrium, pendekatan modernisasi, dan pendekatan konflik.
Pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu
masyarakat adalah sebagai akibat terganggunya keseimbangan di antara
unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan baik
karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan
penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh
Talcott Parsons, maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti
yang dijelaskan dengan Teori Kesenjangan Budaya (Cultural Lag) oleh William
Ogburn.
Pendekatan modernisasi yang
dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya
merupakan pengembangan dari pikiranpikiran Talcott Parsons, dengan
menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi
dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong
terjadinya perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan
masyarakat.
Adapun pendekatan konflik yang
dipelopori oleh R. Dahrendorf dan kawan-kawan, pada dasarnya berpendapat bahwa
sumber perubahan sosial adalah adanya konflik yang intensif di antara berbagai
kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda-beda (interestgroups). Mereka
masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam suatu wadah masyarakat yang sama
sehingga terjadilah konflik, terutama antara kelompok yang berkepentingan untuk
mempertahankan kondisi yang sedang berjalan (statusquo), dengan kelompok yang
berkepentingan untuk mengadakan perubahan kondisi masyarakat.
E. Bentuk-bentuk
Perubahan Sosial
Dilihat dari
segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga
dimensi atau bentuk, yaitu: Perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada
yang berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan
sosial menurut skala atau besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat
secara keseluruhan, ada yang pengaruhnya luas dan dalam, serta ada yang
pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan masyarakat. Yang ketiga, adalah
perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang direncanakan (planned)
atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
Menurut
kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah melalui proses
perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, atau disebut juga dengan proses
evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat yang
disebut revolusi.
Adapun
menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, ada perubahan sosial
yang terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh yang luas dan dalam terhadap
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Namun sebaliknya ada pula perubahan
sosial yang berskala kecil dalam arti pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat
secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Sementara
itu menurut proses terjadinya, ada perubahan sosial yang memang dari semula
direncanakan atau dikehendaki. Misalnya dalam bentuk program-program
pembangunan sosial. Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak
direncanakan.
F. Aspek-aspek Perubahan Sosial
Aspek-aspek
perubahan sosial dapat dibahas dalam dua dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan
dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang terdiri dari aspek materiil, aspek
norma-norma (norms) dan aspek nilai-nilai (values). Kedua, aspek yang dikaitkan
dengan bidang-bidang kehidupan sosial masyarakat, yang dalam kegiatan belajar
ini dikemukakan bidang kehidupan ekonomi, bidang kehidupan keluarga, dan
lembaga-lembaga masyarakat.
Aspek
kebudayaan materiil (artifacts) adalah aspek-aspek yang sifatnya materiil dan
dapat diraba atau dilihat secara nyata, seperti pakaian, ,alat-alat kerja, dan
sebagainya. Karena sifatnya materiil, maka aspek kebudayaan ini relatif cepat
berubah.
Adapun aspek
norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah atau norma-norma sosial yang mengatur
interaksi antara sesama warga masyarakat. Aspek ini relatif lebih lambat
berubah dibandingkan dengan aspek kebudayaan materiil.
Aspek yang
lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang berkaitan dengan nilai-nilai
luhur yang menjadi pandangan atau falsafah hidup masyarakat. Nilai-nilai inilah
yang mendasari norma-norma sosial yang menjadi kaidah interaksi antarwarga masyarakat.
Aspek nilai ini paling lambat berubah dibandingkan dengan kedua aspek
kebudayaan disebut terdahulu.
Perubahan
sosial dalam bidang ekonomi pada dasarnya menyangkut perubahan-perubahan yang
terjadi pada kehidupan masyarakat dalam upaya mereka untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan hidupnya, baik perubahan dalam nilai-nilai ekonomi, sikap,
hubungan ekonomi dengan warga lainnya, maupun dalam cara atau alat-alat yang
dipergunakan. Salah satu kunci dalam perubahan bidang ekonomi ini adalah proses
"diferensiasi" dan "spesialisasi".
Dalam aspek
kehidupan keluarga, yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan fungsi dan
peranan keluarga dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Perubahan dalam struktur dan jumlah anggota keluarga mendorong
terjadinya perubahan fungsi dan peranan keluarga. Salah sate aspek kehidupan
keluarga yang paling jelas perubahannya adalah peranan kaum ibu.
Adapun dalam
aspek lembaga-lembaga masyarakat, perubahan sosial pada dasarnya berkembang
dari suasana kehidupan masyarakat tradisional dengan lembaga-lembaga masyarakat
yang jumlah dan sifatnya masih sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan
kegotong-royongan dan kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modem dengan
lembaga-lembaga masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk
atas dasar kepentingan warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan,
pendidikan, serta dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan.
G.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perubahan Sosial
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan
faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan
yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong
perubahan sosial. Faktor-faktor ini mencakup terutama faktor demografis
(kependudukan), faktor adanya penemuan-penemuan baru serta adanya konflik
internal dalam masyarakat.
Adapun
faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan-perkembangan yang
terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Faktor-faktor
demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis
atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk.
Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru, adalah adanya penemuan di kalangan
atau oleh warga masyarakat tentang suatu alat atau cara yang selanjutnya
diterima penggunaannya secara luas oleh masyarakat, dan karena itu mempengaruhi
perkembangan kehidupan sosial mereka. Sementara itu, faktor konflik internal
adalah pertentangan-pertentangan yang timbul di kalangan warga atau
kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau
perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.
Dalam
faktor-faktor eksternal, yang terpenting di antaranya adalah pengaruh
lingkungan alam fisik, pengaruh unsur-unsur kebudayaan masyarakat lain yang
masuk ke dalam kebudayaan masyarakat tertentu melalui proses yang disebut
difusi kebudayaan maupun akulturasi. Faktor eksternal juga dapat berupa adanya
peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau
bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan
sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang.
H. Ciri-ciri Masyarakat Tradisional,Transisi dan Modern.
Pada
kegiatan belajar ini diuraikan tiga karakteristik masyarakat, yakni masyarakat
tradisional, transisi, dan masyarakat modem. Perbedaan karakteristik ini dikaji
melalui empat aspek utama, yakni aspek ekonomi, sosial, budaya dan aspek
politik. Pada setiap klasifikasi masyarakat tersebut, memiliki perbedaan satu
sama lain. Sebagai misal, dari aspek ekonomi, pada masyarakat yang tradisional,
lebih banyak masyarakatnya yang aktif dalam kegiatan ekonomi terserap pada
kegiatan pertanian agraris, sedangkan pada masyarakat transisi, telah kelihatan
adanya pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor
industri. Pada masyarakat modern, sebagian besar tenaga kerja yang ada lebih
banyak terserap ke sektor lainnya (terutama ke sektor jasa).
Karakteristik
dari aspek sosial, antara lain ditandai dengan tingkat pendidikan yang rendah
pada masyarakat tradisional, dan sebaliknya pendidikan yang tinggi pada
masyarakat modern. Sedangkan aspek yang berkaitan dengan budaya, antara lain
diwarnai adanya sifat yang tertutup dari ide-ide pembaharuan pada masyarakat
tradisional, sedangkan pada masyarakat modern adalah sebaliknya, yakni menerima
ide pembaharuan tersebut dengan daya kritis yang tinggi. Masyarakat transisi,
dapat dipahami dengan pengertian bahwa semua karakteristik masyarakat tersebut,
berada antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern, menurut empat aspek
utama tersebut.
I. Sikap
Masyarakat dan Proses Modernisasi
Salah satu
masalah yang mempengaruhi proses modernisasi adalah sikap hidup masyarakat.
Sikap hidup masyarakat terutama pada masyarakat tradisional, banyak dipengaruhi
oleh faktor adat istiadat dan kebiasaan beragama. Selain itu, hambatan lainnya
karena masih adanya sikap hidup konsumtif yang tidak/kurang rasional. Meskipun
demikian, tingkah laku dan sikap hidup masyarakat dapat berubah menurut
perkembangan waktu dan keadaan akibat dari berbagai pengaruh ekstern. Akan
tetapi, kalau hal itu berjalan dengan sendirinya, maka perkembangan dan
perubahan ke arah yang positif hanya akan berlangsung lambat.
Hal ini pada
satu pihak adalah berkaitan dengan perkembangan tingkat hidup, ilmu pengetahuan
dan daya absorsi dari masyarakat sendiri. Pada lain pihak peningkatannya dapat
dilakukan dengan cara perluasan komunikasi pada masyarakat melalui berbagai
media massa serta penyuluhan dan bimbingan secara langsung.
Dalam
hubungan dengan penyebaran ide-ide bare dan inovasi kepada masyarakat serta
menanamkan sikap hidup yang development-oriented di kalangan masyarakat, maka
segala aparat dan daya yang mungkin digunakan agar dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Dalam hal ini selain melalui media massa serta
penyuluhan/bimbingan tersebut, disamping unsur-unsur tenaga kepemimpinan dari
kalangan pemerintah, perlu manfaatkan tenaga-tenaga teknokrat dan para pemuka
berpengaruh yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Oleh karena
perubahan sikap hidup masyarakat itu ke arah modemisasi adalah sukar untuk
tercipta secara cepat dan sekaligus, maka seyogyanyalah unsur-unsur
kepemimpinan dan tenaga-tenaga penyuluh pada masyarakat itu perlu bersifat
tabah, tekun, kreatif dan berjiwa dharma (mission) dalam menciptakan
modernisasi bagi kehidupan masyarakat.
K. Sikap Golongan-golongan Masyarakat Terhadap Pembaharuan
Dalam proses
pembaharuan diperlukan adanya kerjasama antara beberapa golongan elit dalam
masyarakat. Golongan elit ini terdiri atas: Pertama, elit politik yaitu mereka
yang termasuk dalam kelompok yang mengesahkan kehendak politik bangsa. Kedua,
elit administratif, yaitu kelompok yang tugasnya untuk menterjemahkan
keinginan-keinginan politik, dan dapat pula memberikan input di dalam perumusan
kehendak politik. Ketiga, elit cendekiawan, yaitu kelompok pemikir yang
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap usaha pembaharuan.
Keempat, elit bisnis, yaitu kelompok usahawan yang mempunyai modal dan dapat
mendukung proses pembaharuan. Kelima, elit militer, yaitu kelompok yang
peranannya secara lebih efektif terlihat dalam pemberian otoritas pelaksanaan
kebijaksanaan atau program, serta stabilitas dan kontinuitas usaha pembaharuan.
Namun sering kali kurang respektif dan kurang terbuka. Keenam, informed
observer, yaitu kelompok yang tugas sehari-harinya menjadi penyalur informasi
dan pembentuk pendapat masyarakat.
Selain
golongan-golongan elit tersebut terdapat tiga golongan besar dalam masyarakat
luas. Pertama, golongan tradisionalis, yaitu golongan yang karena pandangan,
nilai-nilai atau kepentingan tertentu, enggan menerima pembaharuan. Kedua,
golongan modernis, yaitu mereka yang berorientasi kepada masa depan, bersedia
menerima unsur-unsur kultural dari luar yang dianggap sesuai dan mendorong
usaha pembaharuan. Ketiga, golongan ambivalen, yaitu mereka yang hanya
mengikuti arus, dan pada hakekatnya enggan terhadap perubahan-perubahan karena
selalu mengandung risiko.
KESIMPULAN
Perubahan sosial dalam masyarakat
bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses.
Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota
masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk
memahami perubahan sosial.
Perubahan sosial adalah
perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia
dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “peran”.
Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan
sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.
Cara yang paling sederhana untuk
mengerti perubahan sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu, adalah dengan
membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu
sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan
mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah
mencoba mengungkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah
masyarakat itu sendiri.
Kenyataan mengenai
perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi
diantaranya: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction
of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan
faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan
itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh
pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
[1] Wilbert E, Maore, Order an
Change, Essay in Comparative Sosiology. New York, John Willey &
Sons, 1967, halm 3
[2] Judistira K. Garna. Teori- Teori Perubahan Sosial. Program
Pascasarjana. Unpad Bandung 19992 ,hlm 80
[3] Perubahan
Sosial dan Perubahan Kebudayaan. http://
www.g-excess.com/id/pages/perubahan%11sosial.html [5 September
2009]
[4] Makalah Perubahan Sosial. http://syair79.wordpress.com/2009/04/17/makalah-perubahan-sosial/ [5
September 2009]
[6] Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Jakarta
1992, hlm 303
[8] Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Jakarta 1992,
hlm 303
[9] Ibid hlm 304
[10] ibid
Komentar
Posting Komentar