PROFOSAL TESIS
PROPOSAL TESIS
BENTUK –BENTUK RITUAL MUNGGAHAN
MENJELANG BULAN RAMADHAN
( Penelitian di Kecamatan
Panjalu dan kecamatan di Cijengjing,
Kabupaten Ciamis Jawa Barat )
A.
Latar
Belakang Masalah
Kekayaan
suatu negara bisa dilihat dari banyaknya suku bangsa, adat istiadat, budaya dan
agama yang hidup dalam masyakat.
Indonesia salah satunya negara yang memiliki kekayaan tersebut. Sehingga
Indonesia bisa disebut bangsa yang heterogen dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika, yang artinya memiliki berbagai khazanah suku bangsa, adat istiadat dan
agama yang berbeda tapi memiliki satu tujuan yang sama kebersamaan dan
persatuan Indonesia.
Dalam
kehidupan kesehariannya, masyarakat Indonesia yang majemuk ini hidup damai dan
rukun dalam menjalankan kehidupannya, terutama dalam kehidupan beragama, adanya
saling menghargai, saling menghormati hak masing - masing individu, menaati
aturan norma yang telah disepakati
dan tolong menolong antar sesama tanpa
mengenal peberdaan suku maupun agama. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah telah
memerintahkan manusia untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan.[1]
Hal
ini terdapat dalam surat Al-Maidah : 2:
وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَاب
Artinya
: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S.
Al- Maidah; 2 ).
Sebagai makhluk yang unik,
manusia juga menjadi makhluk social. Makhluk sosial adalah makhluk yang tidak
bisa hidup sendiri dan membutuhkan kehadiran orang lain. Sebagai makhluk sosial
ia memiliki tabiat suka kerjasama dan bersaing sekaligus. Jika dalam
bekerjasama dan bersaing mereka berlaku fair maka harmoni social akan tercipta.
Tetapi jika mereka bersaing secara tidak fair maka konflik antar manusia bisa
terjadi. Sebagai makhluk sosial manusia merindukan harmoni sosial (perdamaian)
tetapi juga tak pernah berhenti dari konflik.
Desain manusia sebagai makhluk sosial bukan
fikiran manusia, tetapi juga berasal dari Tuhan Sang Pencipta. Kitab Suci penuh
dengan pesan-pesan harmoni sosial; antara lain.
Bahwa manusia itu diciptakan Tuhan memiliki identitas bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing etnis, tetapi perbedaan itu dimaksud untuk menjadi sarana pergaulan, saling mengenal dan saling bekerjasama dalam kebaikan (ta'aruf) (Q/alhujurat;13).
Bahwa manusia itu diciptakan Tuhan memiliki identitas bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing etnis, tetapi perbedaan itu dimaksud untuk menjadi sarana pergaulan, saling mengenal dan saling bekerjasama dalam kebaikan (ta'aruf) (Q/alhujurat;13).
Selanjutnya dalam surat
An-Nisa ayat 1 yang menjelaskan bahwa
Allah telah menciptakan manusia dari berbagai keturunan untuk hidup
bermasyarakat. Adapun konsekuensi hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya
dapat menyesuaikan diri dengan lingkunngan masyarakat yang teratur.
Untuk keteraturan ini perlu
adanya suatu aturan yang bisa mengikat, salah satunya agama yang bisa mengikat
sesama antar individu. Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala
sosial yang umun dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada didunia ini
tanpa kecuali. Ia adalah salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian
dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari
kebudayaan suatu masyarakat, disamping unsur-unsur yang lain, seperti kesenian,
bahasa, sistem mata peralatan, dan sistem organisasi sosial.[2]
Agama merupakan suatu kesatuan dengan masyarakat, tanpa masyarakat
agama tidak lebih dari 'omong kosong' atau dalam istilah Durkheim "bahwa
tanpa sesajian dari manusia tuhan akan mati “[3],
dengan demikian antara agama dan masyarakat tidak dapat terpisahkan.[4]
Agama bagi Durkheim berkisar pada sesuatu yang diistilahkannya dengan
"Yang Sakral", yang merupakan istilah yang berlawan dengan "yang
profan". Baginya, semua keyakinan agama memiliki suatu ciri yang sama,
yakni penggolongan antara yang baik dan yang buruk Agama adalah suatu sistem
kepercayaan dengan perilaku-perilaku
yang utuh yang selalu dikaitkan dengan Yang Sakral, perilaku-perilaku
ini disatukan dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja,
suatu tempat di mana masyarakat meletakkan kepercayaannya[5]
atau dengan istilah lain, bahwa agama adalah:
"....suatu sistem kesatuan dari keyakinan dari praktek- praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal
Yang Sakral, yakni segala sesuatu yang dihindari atau
dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang
mengajar- kan moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti;
hadirnya suatu institusi yang disebut gereja, di mana
orang-orang 'mengidentitaskan diri' padanya. "
[6]
Konsepsi Durkheim atas agama mengharuskan adanya suatu penjelas bahwa Yang Sakral memiliki pengaruh
yang luas, yang menentukan kesejahteraan dan kepentingan
seluruh anggota masyarakat. Sedangkan
yang profan hanya terbatas pada individu-individu, atau hanya refleksi
dari keseharian individu-individu dalam masyarakat. Dengan demikian,
yang Sakral mengharuskan adanya suatu komunitas, di mana ritus-ritusnya
tidak hanya diikuti oleh masyarakat, namun lebih dari itu, ritus
yang sakral secara signifikan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Asumsi bahwa yang sakral merupakan proyeksi dari masyarakat dapat dilihat dari berbagai acara keagamaan
yang diikuti oleh setiap anggota masyarakat. Setiap anggota ketika
datang pada acara keagamaan tidak lagi 'menyatakan diri' sebagai
diri pribadi, namun menggabungkan diri dalam suatu 'diri' yang yang
lebih besar, suatu komunitas yang merupakan entitas yang lebih
majemuk. Dalam upacara- upacara tertentu, mereka akan meninggalkan
keseharian mereka dan beralih pada keadaan yang lebih umum, suatu
keadaan yang telah memasuki wilayah Yang Sakral.
Agama dengan demikian menjadi suatu identitas bersama, suatu identitas yang bersifat sosial. Agama berfungsi
sebagai pembangkit perasaan sosial, memberikan simbol-simbol dan
ritual-ritual yang mem bangkitkan kesadaran sosial, dan
memungkinkankan bagi masyarakat untuk mengekspresikan perasaan
mereka yang terikat dengan komunitasnya .[7]
9
Namun dengan demikian agama sebagai
konsekuensi dari tata kelakuan manusia dapat mengarahkan manusia dalam bentuk
kebaikan dan menghindari keburukan.
Konsepsi Geertz tentang agama sebagai pola
bagi tindakan seringkali menjadi rujukan para ahli dalam melihat berbagai
kehidupan keagamaan. Agama dalam hal ini menjadi suatu pedoman yang dijadikan
kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain sebagai pola bagi tindakan, agama
juga berfungsi sebagai pola dari tindakan, yakni sesuatu yang hidup dalam diri
manusia yang tampak dalam kehidupan dan kesehariannya, atau dalam kata lain,
agama merupakan bagian integral dari sistem kebudayaan yang dimiliki oleh
manusia. [8]
Perbedaan antara agama sebagai 'pola bagi' dan 'pola dari'
tindakan terletak pada pandangan dari keduanya. Pola bagi terkait erat dengan
sistem nilai yang dimiliki, sedangkan pola dari terkait erat dengan sistem
kognitif atau sistem pengetahuan yang dimiliki. Hubungan antara 'pola bagi' dan
'pola dari' terletak pada sistem simbol yang memungkinkan terjadinya suatu
interpretasi atau pemaknaan [9].
Pembedaan yang sama juga datang dari Goodenough, yakni 'pola untuk' dan 'pola
dari'. Konsep yang pertama mengacu pada budaya sebagai pola kehidupan
masyarakat yang berulang secara teratur, sedangkan konsep kedua mengacu pada
budaya sebagai "sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai
pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan
tindakan, dan memilih di antara alternatif-alternatif yang ada"[10]
Secara sederhana,
kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yakni sebagai 'alat' yang digunakan
oleh manusia untuk memahami dan menginterpretasi lingkungannya, dan 'alat yang
mendorong manusia agar menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.[11]
Tentunya tindakan-tindakan yang diambil dianggap sebagai yang paling ideal dan
sesuai dengan lingkungan dan kebudayaannya.
Konsepsi Geertz akan agama dapat dilihat dari
definisinya, seperti berikut :
"(1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi
yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam
diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4)
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam
pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati
dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis [12]"
Dengan penekanan akan definisi agama pada berbagai aspek, Geertz mencoba menjabarkan konsepsinya dalam
beberapa hal. Dalam konsepsinya yang pertama, Geertz memperlihatkan
akan pentingnya sistem simbol dalam memahami agama. Kebudayaan
bagi Geertz merupakan pola
makna (pattern of meanings) yang termuat dalam simbol-simbol,
dan dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka
tentang kehidupan dan mengekspresikannya melalui simbol- simbol
tersebut[13] .
Simbol memiliki posisi yang sangat penting
dalam kebudayaan, dengan demikian, sistem simbol merupakan segala
sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu 'ide' dalam masyarakat.
Ide dan simbol-simbol bersifat publik, maka pemahaman dan penggunaan
simbol-simbol selalu berada di sektor publik atau peristiwa- peristiwa
sosial lainnya.
Konsepsi mengenai agama yang tidak kalah penting adalah bahwa agama menyebabkan orang merasakan atau
melakukan sesuatu. Orang akan memiliki motivasi dan tujuan-tujuan
tertentu, dan motivasi tersebut akan
dibimbing dengan seperangkat nilai. Agama memiliki fungsi penting
dalam kehidupan orang tersebut, adanya motivasi
dan tujuan secara langsung akan mendorong orang tersebut untuk
melakukan hal-hal yang sesuai dengan motivasi dan tujuan-tujuan
tersebut. Dengan kata lain, agama
akan membentuk suatu tatanan kehidupan sekaligus memiliki posisi
istimewa dalam tatanan tersebut.
Contoh yang cukup sederhana adalah adanya keinginan orang Islam untuk hidup dalam
kesejahteraan lahir bathin dengan menjalankan aturan agama adat istiadat
yang berlaku seperti di Desa Ciomas Kec
Panjalu, Desa Kertabumi, Desa Kamulian Kec Cijeunging Kab Ciamis, dengan menjalakan adat ritual “
Nyepuh, Merlawuh, Misalin, dan Ngikis yang dilakukan setahun sekali, setiap mau
memasuki bulan suci ramadhon. Nyepuh,
Merlawuh, Misalin dan Ngikis dalam hal
ini adalah merupakan sebuah bentuk perilaku atau tindakan pendekatan diri kepada Tuhan. Kegiatan
ritual–ritual itu merupakan suatu
sistem simbol dari masyarakat
yang dipandang benar secara moral untuk melaksanakan motivasi tersebut demi
mencapai tujuan-tujuan keagamaan, dan tradisi ritual Nyepuh sebagai Proyeksi Individu terhadap
agama.
Untuk memahami agama sacara lebih baik,
agama harus dilihat tidak hanya sebagai suatu realitas sosial atau juga sistem
simbol dalam kebudayaan, namun juga sebagai proyeksi dari individu pemeluk
agama. Bagi semua agama, teologi atau kepercaan keagamaan adalah hal yang hal
yang vital, merupakan jantungnya keyakinan. Ritual keagamaan merupakan kegiatan
dengan kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa terdapat kekuatan besar
yang harus disembah[14]
.
Berbagai dimensi agama harus dilihat untuk
memahami agama dan atau fenomena keagamaan dengan lebih baik. Kerangka dimensi
telah diberikan oleh Stark dan Glock.[15]
yakni: (1) dimensi keyakinan, (2) dimensi praktek agama, (3) dimensi
pengalaman, (4) dimensi pengetahuan agama, dan (5) dimensi konsekuensi. Dari
dimens- dimensi tersebut, empat dimensi pertama dapat dikategorikan sebagai
kerangka acuan yang lengkap untuk menilai komitmen keagamaan seseorang. Tidak
diperlukan kahadiran empat dimensi tersebut untuk menjadikan seseorang itu memiliki
komitmen keagamaan atau tidak, dalam artian bahwa, komitmen keagamaan individu
tidak harus memiliki dimensi yang lengkap, salah satu dimensi sudah cukup untuk
menjadikan pijakan dari komitmen individu tersebut.
Dimensi kelima atau dimensi konsekuensi mengacu
pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, acapkali bahwa komitmen keagamaan
seseorang dapat dilihat secara riil dari dimensi ini, meskipun hal ini bersifat
sangat subyektif. Sangat mungkin bahwa antara satu dimensi dengan dimensi yang
lain saling berkaitan, namun apakah satu dimensi akan menghasilkan hasil yang
sama dengan dimensi yang lain merupakan hal yang perlu dikaji lebih lanjut.
Konsekuensi merupakan proyeksi komitmen keagamaan individu, namun apa yang
diproyeksikan kadangkala tidak sama dengan dimensi- dimensi sebelumnya, sebut
saja dimensi pengetahuan keagamaan.
Manusia sebagai makhluk individu diberi
kelebihan yaitu fitrah ( perasaan dan kemampuan ) untuk mengenal Tuhan dan
melaksanakan ajarannya. Manusia dikaruniai insting religious ( naluri
beragama) yaitu mahkluk Tuhan atau makhluk yang beragama. Fitrah agama ini merupakan disposisi ( kemampuan dasar ) yang
mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang.
Cara manusia beragama adalah menekankan
penghayatan dan pengamalan agama pada asfek peribadatan baik ritual maupun
asfek pelayanan sosial keagamaan. Lebih lanjut lagi yang terpenting dalam dalam
beragama adalah melaksanakan amalan
shaleh. Karena indikator seseorang
beragama atau tidak ialah dalam melaksanakan segala amalan baik lahir
maupun bathin dari itu agam sendiri. Tuhan memberi pahala dan memasukan
manusia ke dalam Surga adalah karena
amalan perbuatannya yang baik( amal shalehnya ) ketika manusia tersebut masih
hidup di dunia. Tidak adanya pengakuan iman dalam hati kalau tidak dinyatakan
dalam amal perbuatan fisik dan perwujudan materi.[16]
Agama merupakan sistem keyakinan yang
dipunyai secara individual dengan melibatkan emosi-emosi dan
pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi dan diwujudkan dalam
tindakan-tindakan keagamaan ( upacara, ibadah dan amal ibadah ) bersifat
individual atau kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh
masyarakat.[17] agama dalam bentuknya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat.
Dalam agama Islam konsepsi realitas
berasal dari wahyu ( Al-Qur’an dan Al-Hadist ) yang dipandang absolut[18].
Wahyu tersebut diturunkan untuk menghendaki umat manusia memiliki akidahyang
lurus tidak terkontaminasi oleh budaya mendekatkan umat menjadi sesat, kemudian
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya manusia berperilaku serta bagimana
manusia mendekatkan diri pada Tuhannya. Disisi lain agama juga merupakan
merupakan realitas sosial karena diyakini termanisfestasikan di dalam
masyarakat. Begitu pula doktrin agama yang merupakan realitas harus berhadapan
dengan kenyataan yang ada sehingga disinilah seringkali terjadi perubahan
sosial dalam masyarakat.
Agama terdiri atas bermacam-macam ritual,
do’a, dan tari-tarian, saji-sajian dan kurban yang diusahakan oleh manusia
untuk memanipulasi makhluk dan kekuatan supranatural untuk kepentingan sendiri[19].
Dalam kehidupan masyarakat tradisional hal ini masih sangat nampak, hal ini
tersebut dikarenakan pemikiran masyarakat tradisional bersifat mistik dan tidak berdasar rasional dan kepada fakta
bahwa representasi kolektif dalam masyarakat berskala kecil membrikan sedikit
ruang bagi penalaran individual.[20]
Keadaan tersebut berbeda pula dengan
masyarakat yang sudah maju, mereka lebih berfikir logis, bahkan banyak tidak
percaya hal yang bersifat tahayul. Kisah keagamaan dan kisah kemasyarakatan
memiliki jarak yang dapat dibedakan dan saling berinteraksi serta
menguntungkan.
Seiring dengan kemajuan zaman, perubahan
sosial yang cepat, globalisasi menembus ke berbagai peloksok daerah, masyarakat
bertambah maju dan berkembang dalam segala bidang, baik dari segi fisik maupun
dalam alur pola fikirnya. Namun Desa
Ciomas, Desa Kertabumi, Desa Bojong Salawe , dan Desa Karangkamulian di Kabupaten Ciamis, masih ada daerah yang masyarakatnya masih
memegang dan menjalankan adat dan
tradisi peninggalan leluhurnya yang bernuasa Islami yang mengacu pada
norma-norma sosial yang berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan. Di daerah ini
masih mempertahankan unsur-unsur seremonial, ritual, dan emosional, dalam
bentuk sebuah adat tradidi ritual yang masih di pakai dan dipercayai oleh
masyarakat setempat, yaitu tradisi
ritual Nyepuh, Merlawuh,
Misalin dan Ngikis.
Dari semua fenomena diatas maka sangat menarik
untuk di jadikan bahan penelitian.
B.
Identifikassi
dan PerumusanMasalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana
bentuk-bentuk ritual munggah menjelang bulan romadhan di masyarakat
Ciamis dilaksanakan
2.
Bagaimana pelaksanaan ritual munggah menjelang romadhon di masyarakat
Ciamis
3.
Bagaimana
pengaruh ritual munggah menjelang romadhon dengan perilaku kehidupan masyarakat
Ciamis
4.
Bagaimana
upaya pelestarian tradisi ritual munggah menjelang romadhon di masyarakat
ciamis
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah menggambarkan dan melakukan analisis yang terdiri dari :
1.
Bentuk-bentuk
ritual munggah menjelang bulan romadhan di masyarakat Ciamis
2.
Pelaksanaan
ritual munggah romadhon dengan agama di
masyarakat Ciamis
3.
Pengaruh
ritual munggah menjelang romadhon dengan perilaku kehidupan masyarakat Ciamis
4.
Upaya
pelestarian tradisi ritual munggah menjelang romadhon di masyarakat Ciamis
D.
Kegunaan
Penelitian
Adapun
kegunaan penelitian ini adalah :
1.
Kegunaan
praktis :dapat dijadikan sebagai pemasukan pemikiran bagi masyarakat Ciamis serta masyarakat pada umumnya dalam
upaya mengembangkan Dakwah Islam . kemudian sebagai kerangka berfikir dalam
mewujudkan suatu masyarakat Islam yang lebih dinamis.
2.
Kegunaan
teoritis diharapkan menjadi bahan informasi dan perbandingan bagi para pembaca
tentang kehidupan masyarakat Ciamis
E.
Kerangka
Pemikiran
Dalam sebuah komunitas masyarakat Perilaku
keagamaan manusia tidak terlepas dari emosional keagamaan. Salah satu wujud
perilaku keagamaan yaitu melaksanakan ritual-ritual seperti upacara keagamaan atau religius ceremonies. Pandangan
ini diyakini sejalan dengan keyakinan terhadap agama , karena setiap agama memiliki agama dan mewujudkannya dengan
berbagai ekspresi. pada masyarakat yang
masih tradisional ekspresi tersebut penuh dengan muatan nilai-nilai mistis dan
memiliki banyak simbol yang akan diwariskan secara turun temurun pada generasi
penerusnya
Agama
merupakan ritus-ritus agama, yang mempertegas dan memperkuat ikatan emosional
antara para anggota dalam masyarakarat[21]
lebih lanjut, Durkheim[22]
mengungkapkan bahwa jika hal-hal yang disakralkan adalah simbol, kualitas
esensial dari yang disimbolkan merupakan kualitas yang dapat menimbulkan
penghormatan moral. Dalam jalur pemikiran seperti ini, Durkheim sampai pada
proposisi terkenal bahwa masyarakat adalah obyek nyata dari penghormatan
terhadap agama. Dia juga mengatakan bahwa ritus ke agamaan adalah paling
penting dalam mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling
esensial bagi integritas institusional
masyarakat. Sebagaimana pandangan Malinowski [23]
bahwa arti penting upacara kematian ( pemakaman) merupakan mekanisme penilaian kembali
solidaritas kelompok pada saat-saat ketegangan emosional yang tinggi.
Alur
kehidupan manusia berputar kadang manusia merasakan kebahagiaan kadang juga
menderita, ditambah dalam kehidupannya banyak permasalahan yang komplek yang
dalam penyelesainnya segala masalah itu manusia
butuh sesuatu yang membuat dirinya kuat untuk mengatasi segala masalah. Manusia
mencari dan membutuhkan kekuatan yang di luar dirinya. Untuk itu agama tampil
untuk memberi suatu kekuatan pada manusia untuk mengatasi semua permasalahan
yang dihadapi manusia. Agama tampil untuk menawarkan kebutuhan yang dibutuhkan
oleh manusia yaitu ketenangan jiwa. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin
yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri.[24] Juga
agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari
terhadap alam gaib “ surga surga di alam tersebut, namun demikian juga aga
berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah
usang.[25] Agama
merupakan system keyakinan dan praktek keagamaan yang penting dari masyarakat yang telah dibakukan dan dirumuskan serta di
anut secara luas dan di pandang perlu dan benar[26].
Berbeda dengan pandangan reduksionisme .[27]yang
menganggap agama sebagai penyakit atau kekurangan manusia yang belum dewasa
atau berani menerima ide-ide aliran yang positivisme yang didirikan oleh
Auguste Comte. Dalam hal ini agama mengandung
nilai nilai dalam membentuk perilaku baik manusia, agama memfilter menilai
segala sesuatu yang dapat merugikan manusia itu sendiri.
Bila
melihat salah satu prinsip teori fungsional yang menyatakan bahwa segala
ssesuatu yang tidak berfungsi akan
dengan sendirinya.[28]
Dari dulu hingga sekarang agama tampil dengan tangguh keberadaannya yang
menyatakan esistensinya, dan memainkan peran dan fungsi dalam masyarakat. Dengan demikian agama
bersifat sakral dan memiliki posisi di atas kehidupan manusia sehingga
menjadikannya sebagai kebutuhan utama. Agama disebut sakral karena ia berkaitan
dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan maupun yang
sangat menakutkan.[29] Karena
dalam kehidupan manusia banyak peristiwa yang terjadi menimpa dalam dirinya
ataupun di lingkungananya ( alam ), peristiwa dalam diri manusia berhubungan dengan menyedihkan, menyenangkan
,sakit dan kematian. Sedangkan peristiwa yang terjadi dengan lingkungan ( alam
) seperti : banjir, gunung meletus dan bencana alam lainnya yanga dipandang,
ini oleh sebagaian masyarakat dianggap sebagai murka alam terhahap manusia ( masyarakat
), sebagai upaya pemecahan terhadap masalah tersebut dilakukan dengan
acara-acara ritus-ritus keagamaan atau religi, untuk mencari serta
mengembalikan harmoni dengan alam.
Dengan
demikian manusia membutuhkan suatu pengikat, petunjuk antara manusia dengan
kekuatan yang di luar dirinya yaitu Tuhan.
[1] Terjemah Al-Qur’an, Syamil Al-Qur’an.Ikadi 2006.hal.106
[3] Durkheim,
Emile 1995 "Dasar-dasar Sosial Agama" dalam Roland Robertson (ed.)
Agama: dalam analisa dan
interpretasi sosiologis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada hlm, 37
[5].Pls.Daniel.Op.Cit. 156
[10] Keesing,
Roger M. 1989 Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer.. Jakarta: Erlangga 1;68
[11] Suparlan,
Parsudi 1986 "Kebudayaan
dan Pembangunan" dalamDi alog No. 21,September.
Jakarta: Departemen Agama RepublikIndonesia. Hlm. 8.
[13].Pals.Daniel.Op.Cit. 386
[14] Stark,
R. dan C.Y. Glock 1995 "Dimensi-dimensi
keberagamaan" dalam Roland Robertson (ed.)
Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi sosiologis.
RajaGrafindo Persada. Jakarta Hlm. 8
[16] Jalaludin Rahmat, 1990 Keluarga
Dalam Masyarakat Modern .Bandung: Rosda Karya,1990 hlm 91
[17]. Roland Robertson 1995, Agama Dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologis. Raja Grafindo Persada,Jakarta hlm.8
[18] . Azyumardi Azra. 1999. Kontek Barteologi Di Indonesia.
Paramadina, Jakarta. hlm. 11
[19] . William A Haviland, 1985. Antropologi. Erlangga Jakarta, hlm
193
[20]. Brian Morris. 2003. Antroplogi Agama (Kritik Teori-Teori Agama
Kontemporer),AK Group Yogyakarta,hlm227
[21] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern ( Alih
Bahasa : Robert M>Z Lawang) jilid 1-2 , Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1990
[22] Rolland
Robertson. Op Cit Hal 55
[24] Elizabeth.K
Nottingham. Agama dan Masyarakat (Suatu pengantar Sosiologi Agama )
RajaGrafindo Jakarta.hlm .4.
[25] Ibid . 4
[27] Syamsudin
Abdullah, Agama dan Masyarakat ( pendekatan
Sosiologi Agama ). Logos, Jakarta, 1997, hal 20
[28] Atang abdulah , Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,hlm 7
[29] Elizabeth K.
Nottingham. halm 10
Komentar
Posting Komentar